Direktur Akademi
Televisi Indonesia (ATVI), Dr. Melitina Tecoalu, S.E., M.M mengatakan, dosen
perguruan tinggi, khususnya para dosen ATVI harus memiliki aktivitas dan
kebiasaan menulis yang terus menerus, baik menulis untuk jurnal ilmiah maupun
buku teks dan buku bacaan bagi mahasiswa dan masyarakat umum.
Aktivitas dan
kreativitas menulis itu harus bagaikan passion atau Renjana dalam kosa Bahasa
Indonesia yang diambil dari Bahasa Sansekerta yang dapat diartikan sebagai
keinginan kuat untuk tiada henti melakukan sesuatu yang menyenangkan, halam hal
ini aktivitas menulis.
Menulis dan mempublikasikannya dalam bentuk
jurnal, apalagi buku, bagi para dosen, lanjut Melitina, merupakan bagian dari
proses Tri Dharma Perguruan Tinggi. Jadi kata Renjana ini harus jadi passion
para dosen melakukan kegiatan menulis yang terus-menerus.
“Buku yang dibedah ini, jadi legacy bagi para
dosen ATVI, karena dapat dibaca siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Ini akan
abadi,” papar Melitina Tecoalu ketika memberikan sambutan pada acara peluncuran
dan bedah buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” di
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud, Rawamangun, Jakarta Timur,
Rabu (17/5/2023).
Peluncuran dan bedah buku yang diseenggarakan atas kerja sama Akademi Televisi
Indonesia (ATVI) dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa- Kemendikbud.
Acara ini dimoderatori oleh Dr Dewi Puspita, S.S., M.A. dari Pusat Pengembangan
dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. dan selingan hiburan berupa musikalisasi puisi
oleh Komunitas Van Der Wijck.
Sementara Sekretaris Hafidz Muksin, S.sos,
M.Si mengatakan, buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika
Budaya” ini dari sisi konten dan karakteristik cukup beragam baik menyangkut
cara membuat konten digital, begaimana membuat live streaming yang bagus,
bisnis di era digital, jurnalisme warga, hingga soal alih wahana.
Dengan demikian kata Hafidz, buku ini memberi
nuansa dan wacana yang sangat lengkap bagi kita semua.Inibermanfaat bagi
komunitas Bahasa dan sastra yang ada di Badan Bahasa ini dan tak kalah penting
bagi generasi milenial. Apalagi di Badan Bahasa punya Duta Bahasa yang tersebar
di semua provinsi. Mereka talenta terbaik yang secara khusus kita beri dukungan
dan fasilitasi untuk membuat konten-konten media kreatif yang bertemakan bahasa
dan sastra, baik untuk penguatan literasi, kelestarian bahasa dan
intenasionalisasi Bahasa Indonesia.
“Teknologi itu
berkembang cepat, menguasai teknologi informasi itu sangat penting, juga mengupdatenya.
Karena itu, buku ini memberi banyak petunjuk dan contoh bagaimana kita
menguasai dan memanfaatkan teknologi dengan baik dan positif,” tambah Hafidz.
Editor buku ini,
Suradi, MSi menjelaskan latar belakang dan proses kreatif lahirnya buku “Perspektif
Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” ini sebagai bagian dari proses
kegiatan menulis para dosen ATVI. Beragamnya tema yang diangkat dalam buku ini
memang dimaksdukan memberikan kesempatan bagi para dosen untuk menuangkan
pemikiran dan keahliannya yang selama ini diberikan kepada mahasiswa dalam
perkuliahan.
“Dukungan kolega
dosen, pimpinan ATVI, dan pimpinan penerbit Prenada Media, membuat proses
penulisan dan penerbitan buku berjalan lancar. Juga kolaborasi dengan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sangat apik, sehingga peluncuran dan bedah
buku dalam rangka Dies Natalis ATVI ke-25 sangat menarik,” ungkap Suradi yang
juga dosen ATVI.
Paradoks Era
Digital
Sementara itu ahli
komunikasi yang juga dosen ATVI, drs. Eduard Depari, MA mengungkapkan
keresahannya menyikapi perkembangan masyarakat di era digital yang semakin
menuntut kecepatan dan kebaruan. Kita melihat di tengah masyarakat, polarisasi
berkembang, apalagi saat kontestasi politik baik Pilpres maupun Pilkada dan
pemilihan anggota legislative pusat dan daerah.
“Membedah buku
“Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” karya para dosen
ATVI ini, kita seolah dihadapkan pada paradok. Di satu sisi akses untuk beragam
informasi sangat terbuka luas, tetapi saat bersamaan, semangat dan kebiasaan
membaca masyarakat sangat lemah.Ini diperparah dengan intervensi media televise
yang menawarkan beragam acara dan dapat dilihat di berbagai platform via HP,”
ujar Eduard.
Eduard yang mantan
Direktur ATVI ini juga mengungkapkan, polarisasi di masyarakat semakin tajam
karena peran media sosial yang tidak terkendali, terutama media social di
tangan yang mampu membeli dan mengkonsumsi tapi tidak mampu mengendalikan
pesannya.
Dia menekankan
pentingnya literasi membaca atau reading literacy yaitu bagaimana kemampuan
mengendalikan informasi. Lemahnya kebiasaan membaca akan menumpulkan kemampuan
berfikir kritis. Karena ketidakmampuan berfikir kritis itu mengakibatkan
ketidak mampuan membedakan fakta, opini, hoaks dan informasi yang menyesatkan.
Mengutip sebuah buku
yang menglas media sosial, Eduard mengatakan media sosial itu menghubunkan kita
atau memisahkan kita? Apakah produktif atau sebaliknya membuang waktu kita.
Sebab penggunaaan waktu yang lama dan tak terkendali untuk kepentingan media
sosial, membuat waktu kita untuk rekreasi keluarga dan kepentingan sosial yang
bermanfaat, seperti membaca buku, bergaul, menjadi berkurang.
”Jadi media sosial itu
digunakan antitesa media komunikasi massa. Sehingga kata media sosial itu
menyimpang dari makna sebenarnya. Kalau media komunikasi massa sifatnya
vertikal sedangkan media sosial horizontal. Bila media komunikasi massa itu sifatnya
dominan, topdown sedangkan media sosial, interaktif, orang bisa terlibat dalam
pegambilan keputusan,” paparnya.
Dalam paparan
akhirnya, Eduard menilai tepat pengambilan judul dengan kata perspektif
komunikasi, dan media digital, tepat, lalu perspektifnya di mana? Perspektif
komunikasi media digital Kita dapat lihat karakter media digital. Dia
meungkinkan banyak hal terjadi dan pada saat bersamaan bisa diakses dan
digunakan bersama.
“Sayangnya akses
informasi itu tidak digunakan secara bermanfaat, informasi apa yang dibaca,”
kata Eduard.
Dinamika Budaya
Pembahas bedah buku
ini, dosen Jurusan Desain ITB, Prof Yasraf Amir Piliang melihat aspek budaya
dalam konteks perkembangan media digital. Dia menyebutkan buku yang dibedah ini
mengulas banyak dimensi media digital, keresahan buku ini adalah proses
digotalisasi.
”Pendekatan multi
disiplin dan metodenya melihat peluang-peluang bagi proses kretif, tapi tujuan
pengayaan keilmuan bidang komunikasi media digital,” katanya.
Yasraf melihat banyak
sisi soal era digital saat ini. Misalnya bagaimana perbedaan antara media
mainstream lama dengan media digital yang lebih praktis. Bahkan dengan
perkembangan terakhir yang mencerminkan multi komunikasi, siapapun bisa membuat
konten dan menilai konten lain melalui media digital.
Dimensi budaya yang
nyata terasa saat ini lanjut Yasraf, misalnya sebelumnya kita menganggap bahwa
kehidupan itu bagaikan waktu kronologis yang dilukiskan dari babakan masa lalu,
masa kini dan masa depan. Tetapi saat ini kita sebut sebagai waktu chronoscopic,tidak
lagi kronologis. Jadi sifat chronoscopic yaitu kita bisa berkomunikasi (atau
hidup) di satu tempat yang sama (di layar TV/Komputer) meski tempatnya
berjauhan, bahkan lintas negara. Perubahan budaya berkomunikasi saat ini juga
mengubah sikap dan persepsi kita tentang dimensi kehudupan.
Yang menarik juga
diungkapkan Yasraf, bagaimana perubahan cara berkomunikasi yang menyangkat
tulisan dalam WA atau Twitter. Di WA atau Twitter, hampir semua dilakukan
dengan mempersingkat kata.
“Jangan-jangan
lama-kelamaan orang ingin membuat skripsi, tesis ataupun disertasi dengan
singkat saja,” kata Yasraf bergurau.
Begitu juga dimensi
lain dari pola komunikasi melalui pesan di media sosial yang justru bukan lagi
mementingkan konten yang komunikatif dan baik, tapi bagaimana konten pesan itu
segera dibalas.
“Jadi yang penting itu
membalas apa saja, bukan memperhatikan pesan yang sebetulnya sangat pokok,”
ujar Yasraf.
Sedangkan pembahas Dr.
Ahmad Khoironi A, S.Hum., M.A, Anggota KKLP Pembahu (Pembinaan Bahasa Hukum)
dari Badan Pembinaan Bahasa dan Sastra, membedah buku ini dengan tema Dunia
Komunikasi dari Sudut Pandang Linguistik, Pemilihan Bahasa dan Budaya. Dia
membagi tiga kerangka komunikasi yaitu komunikasi dan Bahasa dalam kajian
linguistik, sistematika penulisan artikel sosial-humaniora, dan pembinaan
Bahasa dalam ranah tulis.
Diakui oleh Khoiri,
tidak mudah untuk menuangkan gagasan/ide atau suatu hal dalam bentuk tulisan
yang mudah dibaca dandimengerti banyak orang. “Jadi Mendedah pikiran kita dalam
sebuah buku yang komunikatif itu sulit. Karena itu saya apresiasi karya buku
ini sebagai legacy dari para dosen ATVI,” katanya.
Khoironi mengulas
Komunikasi dan Bahasa. Komunikasi itu katanya yaitu proses komunikasi yang
menjelaskan siapa, mengapa, kepada siapa melalui saluran apa, sedangkan Bahasa
yaitu sistem komunikasi antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
“Komunikasi dapat berjalan efektif jika topik
relevan, lawan tutur satu frekuensi dan cara bertutur baik,” katanya.