Friday, July 24, 2015

SIARAN TV DIGITAL

SIARAN TV DIGITAL

Di dunia pertelevisian, peralatan berteknologi digital sudah digunakan sejak dulu, seperti: Digital Video Effect, Video Switcher, Character Generator dlsbg. Tetapi peralatan ini hanya merupakan alat bantu untuk memperkaya tampilan program pada sinyal video yang masih analog. Sinyal video mulai dari kamera hingga pemancar pada waktu itu semuanya masih analog.

Teknologi analog mulai meredup ketika kamera dan perangkat editing sudah mengadopsi teknologi digital. Mulai saat itu lengkaplah sudah teknologi digital mendominasi studio-studio televisi di seluruh dunia. Sebab kamera merupakan perangkat utama produksi, sedangkan editing merupakan perangkat utama paska produksi. Ketika dua perangkat utama ini sudah digital, maka bisa dikatakan bahwa peralatan penghasil materi siaran TV sudah 100 persen digital. Justru satu-satunya peralatan siaran yang masih analog adalah pemancarnya. Bila pemancar ini diganti dengan pemancar digital maka semua peralatan siaran TV ini sudah 100 persen digital. Penggantian pemancar dari analog ke digital jelas tidak akan berpengaruh pada bagian produksi maupun paska produksi. Sebab kedua bagian ini sudah lebih dulu bermigrasi ke digital.

Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa pemancarnya harus diganti digital? Bukankah pemancar analog selama ini sudah sangat memuaskan hasilnya?

Benar bahwa sudah lebih dari 60 tahun pemancar TV analog telah membuktikan kinerjanya yang sangat baik. Namun dari sisi lain, ketika teknologi digital telah memperlihatkan keunggulannya, pemancar analog itu sudah waktunya untuk diganti. Alasan paling utama penggantian ini adalah: demi efisiensi atas pendudukan frekuensi radio. Sebab frekuensi radio adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, sehingga keberadaannya haruslah dimanfaatkan se-efisien mungkin. Nah satu-satunya cara yang mampu meningkatkan efisiensi pemakaian frekuensi radio ini adalah teknologi digital.

Di Indonesia alokasi frekuensi untuk siaran TV swasta berada pada band UHF dengan rentang frekuensi mulai dari 478 MHz hingga 806 MHz. Sementara itu hanya dibutuhkan bandwidth sebesar 8 MHz saja untuk satu kanal siaran TV analog. Jadi dalam rentang frekuensi itu ada 40 kanal yang bisa digunakan untuk siaran TV. Tapi kenyataanya hanya 20 kanal saja yang bisa dimanfaatkan. Sebab kanal yang bersebelahan (adjacent channel) harus dikosongkan. Kalau tidak, maka kedua kanal yang bersebelahan akan saling menggangu.

Dari sini sudah nampak jelas bahwa betapa borosnya pemakaian frekuensi oleh pemancar TV analog ini. Sebab sebetulnya bandwidth yang dibutuhkan hanya 8 MHz saja, tetapi harus mengorbankan 8 MHz lagi untuk dikosongkan. Jelas ini merupakan sebuah pemborosan. Akibatnya banyak calon penyelenggara siaran TV yang tidak kebagian slot frekuensi. Pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk melayani permintaan itu, karena memang sudah tidak ada lagi slot frekuensi yang bisa diberikan.

Dengan teknologi digital tidak ada lagi masalah adjacent channel. Dengan kata lain, dari total 40 kanal yang tersedia semuanya bisa diduduki. Jika satu kanal pemancar TV digital butuh 8 MHz untuk beroperasi, ya 8 MHz itu saja yang diduduki. Kanal di sebelahnya boleh diduduki oleh pemancar digital lain tanpa keduanya saling menganggu.

Tidak hanya itu, satu slot frekuensi yang semula hanya bisa digunakan untuk menyiarkan satu program TV analog, dengan teknologi digital bisa untuk menyiarkan 12 program sekaligus. Jadi kalau ada 40 slot frekuensi yang tersedia, maka dengan teknologi digital bisa menyiarkan 480 program. Ini jelas merupakan terobosan yang luar biasa dalam hal efisiensi frekuensi.

Namun jumlah program sebanyak itu rasanya terlalu berlebihan, sehingga Pemerintah melalui Permen Kominfo No.23 Tahun 2011 telah menetapkan hanya 27 slot frekuensi saja yang dialokasikan untuk siaran TV digital, sedangkan 13 kanal sisanya akan dialokasikan untuk keperluan lain.

Pemerintah Indonesia melalui Permen Kominfo No.5 Tahun 2012 juga telah menetapkan DVB-T2 (Digital Video Broadcasting – Teresterial 2nd Generation) sebagai standar yang berlaku untuk siaran TV digital di Indonesia. Pemilihan standar ini didasarkan atas hasil penelitian bahwa DVB-T2 adalah teknologi yang menghasilkan kecepatan data yang paling mendekati garis “Shannon Limit” (perhatikan gambar 1), yaitu suatu garis yang merupakan batas maksimal kecepatan pengiriman data dengan faktor kesalahan mendekati nol (error free maximum data speed).

Gambar (1) juga memperlihatkan bahwa pada konfigurasi yang paling optimum (dengan memperhitungkan daya output, orde modulasi, coding, FEC dan kecepatan data), DVB-T2 mampu mengirimkan data hingga 40 Mbps. Ini berarti DVB-T2 bisa digunakan untuk mengirimkan sinyal SDTV sekitar 12 program, tergantung dari kecapatan data yang dikirim untuk setiap program.

DTV_Shannon Limit

Gambar (1): Kecepatan data pada DVB-T2 yang sangat mendekati garis Shannon Limit

Selain itu, transmisi digital juga dikenal sangat kebal terhadap noise atau gangguan dari luar. Hal ini disebabkan karena pesawat penerima hanya diperintahkan untuk mengenali dua kondisi saja yaitu "1" dan" 0". Hal ini identik dengan mata manusia yang lebih mudah mengenali lampu yang berkedip dibanding lampu yang menyala tapi terangnya berubah-ubah. Lampu yang berkedip akan membuat mata lebih peka dalam mengenali kondisi lampu itu sedang menyala atau mati dibanding lampu yang menyala terang, setengah terang atau kurang terang. Dengan berkedip, kecil kemungkinan bagi mata untuk salah menerima informasi bahwa lampu itu menyala atau mati, walaupun letak lampu itu cukup jauh dan terhalang oleh asap misalnya, mata manusia masih cukup peka untuk membedakan lampu itu sedang menyala atau mati. Demikian pula dengan sistem transmisi pada pemancar TV digital. Pesawat penerima akan menjadi lebih peka karena hanya diperintah untuk mengenali "1" dan "0" saja, sehingga dikatakan transmisi digital lebih kebal terhadap noise / gangguan dari luar.

Di dalam transmisi digital juga dilengkapi dengan sebuah sistem yang mampu memperbaiki kesalahan penerimaan data akibat gangguan dari luar atau noise. Sistem ini disebut dengan FEC (Forward Error Correction). Dengan rangkaian FEC informasi yang diterima di pesawat penerima akan selalu utuh karena setiap kali ada kesalahan data yang diterimanya secara otomatis akan langsung dikoreksi. Itulah sebabnya dengan transmisi digital, gambar dan suara yang diterima di pesawat penerima bisa dikatakan sama kualitasnya dengan gambar dan suara yang dikirim dari studio, karena jika ada kesalahan bisa langsung diperbaiki (error free).

Dengan sifatnya yang kebal terhadap noise dan error free ini akan membuat pesawat penerima menjadi sangat peka dalam menangkap sinyal. Oleh karena itu daya pancar di pemancar bisa diturunkan. Sebab meskipun daya pancarnya menurun tapi pesawat penerima masih mampu menangkap siarannya dengan baik. Maka bisa disimpulkan bahwa untuk menjangkau wilayah yang sama, kebutuhan daya pancar pemancar TV digital lebih rendah dibanding pemancar TV analog. Berkurangnya daya pancar berarti energi listrik yang dibutuhkan juga berkurang. Dengan demikian pemancar digital tidak hanya hemat dalam hal pemakaian frekuensi tetapi juga sekaligus hemat energi.

Tapi walaupun sudah sedemikian jelas, implementasi penggantian pemancar TV digital itu ternyata tidaklah mudah. Sebab ada beberapa kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Salah satunya adalah: pesawat penerima TV biasa (analog) tidak bisa menerima siaran TV digital, kecuali dengan alat bantu yang disebut dengan set top box. Oleh karena itu pergantian pemancar dari analog ke digital akan berjalan dengan lancer bila harga set top box ini sudah cukup murah. Sebab ada 50 juta lebih pesawat penerima televisi analog yang membutuhkan set top box ketika pemancarnya diganti ke digital.

Kendala yang kedua adalah bahwa satu unit pemancar TV analog yang semula hanya untuk menyiarkan satu program saja, setelah diganti digital bisa digunakan untuk menyiarkan 12 program sekaligus. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: siapa yang harus mengoperasikan pemancar digital itu dan siapa saja yang berhak mengisi ke 12 program siaran itu? Apakah pemilik pemancar TV digital harus mengisi 12 program itu seluruhnya? Jika tidak, lalu siapa yang boleh mengisinya dan bagaimana mekanisme pengaturannya?

Kendala yang ketiga adalah masa transisi. Pada saat siaran TV digital sudah dimulai, siaran TV analog masih tetap dibutuhkan. Dengan demikian akan terjadi dua jenis siaran (analog dan digital) yang beroperasi secara simultan. Padahal spektrum frekuensi yang dialokasikan untuk siaran TV digital dan analog itu adalah sama. Oleh karena itu perlu adanya sistem pengaturan frekuensi yang cukup ketat agar kedua jenis siaran TV itu tidak saling tumpang tindih dan tidak saling ganggu.

Kendala-kendala itulah yang membuat implementasi siaran TV digital agak terhambat karena perlu proses dan waktu yang lama untuk melakukan perubahan peraturan maupun pendekatan bisnis yang sesuai.

PERBEDAAN PEMANCAR TV ANALOG DAN DIGITAL

Perbedaan pemancar TV analog dan digital terletak pada Modulatornya (lihat gambar 2), dimana di bagian inilah sinyal audio dan video diproses.

DTV_Analog

Gambar (2): Diagram perbandingan antara konfigurasi perangkat siaran TV analog dan digital

Namun berhubung dalam pemancar digital ini ada 12 program yang akan disiarkan, maka diperlukan sebuah alat yang disebut multiplexer yang berfungsi untuk menyusun 12 program itu ke dalam satu paket (transport stream). Kemudian untuk menghemat bandwidth, setiap program yang berasal dari Playout atau Studio harus dimampatkan (compressed) terlebih dulu menggunakan video encoder. Maksudnya, sinyal video SD-SDI berkecepatan 270 Mbps itu harus dimampatkan menjadi sekitar 2-4 Mbps menggunakan mesin kompresi MPEG4 yang terdapat di dalam video encoder itu.

Dalam gambar (2B) dicontohkan ada 12 program yang berasal dari 12 sumber yang berbeda. Ke 12 program ini dimasukkan ke muliplexer untuk disusun menjadi satu paket data (transport stream) dan kemudian dikirim ke pemancar untuk dipancarkan. Dalam contoh ini 3 program diasumsikan berada di lokasi dekat pemancar, sedangkan 9 lainnya berada jauh dari pemancar sehingga memerlukan STL (Studio to Transmitter Link) sebagai penghubungnya.

Dari gambar (2) tersebut di atas, ada 4 poin penting yang perlu disimak. Poin pertama, multiplexer, encoder-decoder dan STL bukanlah barang baru di dunia penyiaran. Teknologi peralatan ini sudah sangat mapan, banyak pilihan dan harganya pun bervariasi sesuai merk. Selain itu penambahan peralatan ini merupakan konsekuensi logis dari banyaknya program yang disiarkan.

Poin kedua adalah, tidak ada perubahan apapun di sisi studio. Artinya, penggantian pemancar dari analog ke digital sama sekali tidak akan mengganggu aktifitas di bagian produksi maupun paska produksi. Bahkan dengan memakai transmisi digital ini, materi dari studio yang sudah lebih dulu digital, akan tetap digital hingga sampai di sisi penerima. Ini merupakan suatu keuntungan tersendiri dalam hal menjaga kualitas materi siaran.

Poin yang ketiga adalah, tidak ada perubahan yang sangat dramatis di sisi pemancar, kecuali penggantian Modulator dan sedikit penyesuaian (adjustment) pada filter outputnya. Sekedar catatan tambahan, Modulator hanyalah satu bagian kecil dari sebuah sistem pemancar secara keseluruhan. Sebab dalam sistem pemancar TV terdapat infrastruktur yang cukup kompleks dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang sangat penting seperti: menara, saluran transmisi, amplifier, filter, power devider, susunan antena, sistem endingin, sistem catu daya, UPS, Genset, alat ukur dan perangkat monitoring. Jadi penggantian Modulator dari analog ke digital bukanlah sebuah persoalan besar, karena komponen lain yang nilainya jauh lebih tinggi sama sekali tidak berubah.

Point yang keempat adalah: 12 program siaran itu hanya membutuhkan satu unit pemancar, satu infrastruktur, satu lahan dan satu (team) teknisi. Jadi betapa banyak yang bisa dihemat dari kehadiran siaran TV digital ini.

CONTENT YANG BERAGAM

Sebenarnya siaran TV digital merujuk pada keberhasilan siaran TV via satelit. Dulu satu transponder satelit hanya bisa untuk menyiarkan satu program TV analog, tapi berkat teknologi kompresi (MPEG-4) dan sistem modulasi digital (DVB-S2) akhirnya satu transponder bisa digunakan untuk menyiarkan lebih dari 20 (dua puluh) program siaran. Ini merupakan penghematan sumber daya (bandwidth) yang luar biasa, disamping penghematan yang juga luar biasa atas beban beaya sewa transponder itu sendiri.Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh penyelenggara jasa siaran TV kabel dengan mengadopsi teknologi DVB-C.

Melalui pendekatan yang sama, sudah tiba saatnya buat siaran TV konvensional untuk beralih ke digital. Sebab bagaimanapun juga migrasi siaran TV ke digital ini tak bisa dihindari lagi, mengingat banyaknya keunggulan yang ada padanya. Penghematan bandwidth adalah keunggulannya yang paling utama. Sebab penghematan bandwidth bisa diartikan bahwa akan semakin banyak program yang bisa disiarkan. Ini tentu akan memberi peluang buat pemerintah, lembaga sosial dan lembaga non profit lainnya untuk ikut berperan dalam menyiarkan program-programnya untuk tujuan pendidikan dan kemanusian.

Pada akhirnya nanti setiap program yang dibuat, baik yang bersifat komersial maupun yang non komersial, dapat disiarkan melalui berbagai macam saluran distribusi, seperti satelit, TV kabel, TV digital, jaringan seluler dan internet. Di dalam jaringan internet bahkan content audio-visual ini lebih bersifat On-Demand, artinya bisa dipilih sesuai kebutuhan dan kapan pun dibutuhkan selalu tersedia. Sifat On-Demand ini sangat cocok untuk jenis program yang tak terpengaruh oleh waktu, seperti program pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan. YouTube adalah pelopor penyedia jasa Video On-Demand (VoD) dan kiprahnya kini mulai diikuti yang lain seperti www.vimeo.com.

Menyediakan content untuk saluran distribusi yang beragam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan industri content dengan jumlah yang banyak dan dengan spesialisasi yang berbeda-beda. Sebab selera pemirsa pastilah berbeda-beda. Kejelian dalam melayani ceruk pasar yang sempit dan beragam inilah yang kelak akan menjadi tantangan penyedia content di masa depan. Sebuah tantangan kerja dan peluang usaha yang sesunguhnya sangat menarik untuk digeluti di era ekonomi kreatif sekarang ini.

sumber www.2wijaya.com

0 Comments:

Post a Comment